Senin, 28 Januari 2008


Sabtu, 05 Januari 2008

AKSESIBILITAS PENYANDANG CACAT ( RAMP )


RAMP

Pembaca barangkali sering mendengar istilah aksesibilitas. Biasanya istilah ini sering kita baca atau dengar pada hal – hal yang berkaitan dengan bidang kecacatan. Aksesibilitas artinya segala sesuatu yang mudah dicapai dan digunakan atau dimanfaatkan. Aksesibilitas mengandung pengertian universal, mengapa ? Karena semua orang membutuhkannya. Tidak ada satupun yang tidak membutuhkannya. Coba kita lihat dalam keseharian kita. Di ruangan kita ada perangkat listrik seperti saklar, stopkontak atau kran air. Bagaimana mungkin kita akan menggunakannya kalau kran air misalnya kita letakkan lebih tinggi dari pintu. Atau kita akan memasang perangkat elektronik. Kita membutuhkan stopkontak, namun stopkontaknya kita tempatkan setinggi lemari makan. Apa yang terjadi? Ternyata kita kesulitan menggapainya. Padahal kita tahu bahwa peralatan listrik semacam saklar dan stopkontak adalah merupakan fasilitas yang artinya perlengkapan untuk memudahkan. Namun dalam kasus diatas ternyata kalau kita salah meletakkan maka jadinya tidaklah mudah. Oleh karenanya perletakan perangkat listrik atau apa saja, hendaknya mudah digapai dan mudah dimanfaatkan. Karena itulah pentingnya teknologi. Teknologi harus menghasilkan sesuatu yang mudah dipakai dan mudah dimanfaatkan. Perletakan sesuatu diusahakan mudah digapai, dicapai dan dimanfaatkan. Sehingga kita menyimpulkan bahwa aksesibilitas diperlukan semua orang, yang artinya aksesibilitas merupakan masalah universal. Tentu para pembaca juga sering mendengar istilah aksesibilitas penyandang cacat, yang intinya segala hal yang mudah dicapai, digapai dan dimanfaatkan oleh para penyandang cacat. Aksesibilitas penyandang cacat bisa berupa aksesibilitas fisik atau non fisik. Yang termasuk aksesibilitas fisik misalnya aksesibilitas bangunan dan lingkungan, transportasi. Dan aksesibilitas non fisik a.l. : kesehatan, pendidikan, pelatihan, penyaluran kerja, informasi dan ekonomi.
Untuk lebih fokus, penulis mengarahkan pembaca untuk memahami aksesibilitas fisik dulu yaitu aksesibilitas terhadap bangunan dan lingkungan. Mengapa demikian ? Ketika kita berusaha mengingatkan orang lain/ masyarakat atau membuat masyarakat makin sadar, maka kita semaksimal mungkin dan sebanyak mungkin membuat tempat – tempat yang didalamnya ada tanda – tanda aksesibilitas. Fungsinya jika orang selalu melihat tanda – tanda tsb. maka hal itu akan tersimpan pada ingatan orang tsb. Sama jika kita sering melihat iklan rokok di sepanjang jalan, maka kita cepat mengingat atau kenal dengan merk rokok yang diiklankan tsb. Nah untuk membuat orang lain sadar dan peduli, kitapun harus selalu nampak di hadapan mereka melalui tanda – tanda yang kita tempatkan disegala tempat yang sering dilalui masyarakat. Sehingga saking seringnya masyarakat melihat tanda – tanda tsb. Maka masyarakat akan sadar dengan keberadaan penyandang cacat yang ada disekeliling mereka. Dan jika sosialisasi tentang masalah kecacatan meluas, maka dari kesadaran muncullah kepedulian. Karena inti dari pemecahan masalah sebenarnya dari kepedulian. Banyak hal pada masa sekarang akan bisa terlaksana jika ada uang. Tapi ada juga sesuatu hal bisa terlaksana walaupun tidak ada uang, jika ada kepedulian. Kembali ke masalah aksesibilitas penyandang cacat. Pengertian aksesibilitas penyandang cacat secara yuridis adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Ketika kita membangun aksesibilitas penyandang cacat haruslah memenuhi beberapa azas a.l. : kemudahan, kegunaan, keselamatan, kemandirian, keamanan, kenyamanan dan keadilan. Artinya fasilitas yang kita bangun itu mudah dicapai, bisa digunakan, tidak berbahaya bagi pemakai, pemakai tidak memerlukan bantuan orang lain, aman dari gangguan kejahatan atau dari hal-hal yang membahayakan, nyaman dinikmati dan semua orang bisa sampai di tempat tsb. Untuk sampai pada fasilitas tsb. Sehingga azas2 diatas terpenuhi, maka perlu dibangun fasilitas pendukung untuk itu. Fasilitas pendukung tsb a.l. : Jalur pedestrian, jalur pemandu untuk tuna netra, ramp ( jalan landai ), tangga, pintu, lift bagi bangunan lebih dari 2 lantai, papan informasi bagi tuna rungu, braille sign bagi tuna netra, rambu – rambu aksesibilitas, telepon umum, area parkir, kamar kecil, pancuran, wastafel, perabot dll. Semua persyaratan teknis tentang itu telah diatur dalam KepMen PU No. 468/KPTS/ 1998. Yang paling penting bagi penyandang cacat tubuh misalnya kebutuhan akan ramp yang dilengkapi dengan hand rail, jalur pemandu dan tepian pengaman pada pedestrian bagi tuna netra selain braille sign pada setiap persimpangan. Juga papan informasi bagi penyandang tuna rungu. Tentu elemen lain juga penting, namun jika elemen yang disebut diatas tersedia maka sudah mengurangi hambatan – hambatan arsitektural.

1. RAMP

Jalan landai atau ramp ini merupakan elemen pokok yang sangat urgen bagi penyandang cacat tubuh khususnya pengguna kursi roda, fasilitas ini sangat bermanfaat juga bagi lansia, ibu hamil dan anak – anak. Esensinya ramp adalah jalur jalan landai yang memiliki kemiringan tertentu, sebagai alternatif bagi orang – orang yang tidak dapat menggunakan tangga. Sesuai ketentuan, maka standard ukuran yang aksesibel adalah jika :
· Kemiringan ramp diluar gedung tidak melebihi 6° atau setiap 1 m’ panjang , naik max. 10 cm dan didalam gedung tidak boleh melebihi 7° atau setiap 1 m’ panjang, naik max. 12 cm.
· Panjang mendatar dari satu ramp di luar gedung tidak boleh melebihi 900 cm.
· Lebar minimum dari ramp adalah 95 cm tanpa tepian pengaman dan 120 cm dengan tepian pengaman. Tepian pengaman sendiri mempunyai tinggi 10 cm dan lebar 15 cm.
· Bordes atau permukaan datar pada awalan atau akhiran dari suatu ramp mempunyai ukuran minimum 160 cm.
· Tekstur semua jalur dan bordes tidak boleh licin atau menggunakan bahan yang bisa berlumut jika terkena hujan.
· Ramp harus dilengkapi dengan penerangan yang cukup.
· Ramp harus dilengkapi dengan pegangan rambatan atau handrail.

Aksesibilitas bermanfaat bagi semua orang

PEDESTRIAN

Unsur aksesibilitas selanjutnya adalah pedestrian. Pedestrian adalah jalur pejalan kaki atau kursi roda bagi penyandang berkebutuhan khusus ( PBK ), yang dirancang berdasarkan kebutuhan orang untuk bergerak aman, nyaman dan tak terhalang.. Pedestrian bisa saja didesain sebagai trotoir, bisa juga diletakkan agak masuk ke dalam jika luasnya memungkinkan. Jadi semua trotoir adalah pedestrian, namun tidak semua pedestrian adalah trotoir. Trotoir diletakkan persis dipinggir jalan raya. Trotoir seperti yang kita saksikan dikota – kota di Indonesia umumnya kurang memperhatikan aksesibilitas, misalnya pada ujung – ujung pertemuan dengan jalan tidak dibuatkan ramp. Umumnya konstruksi ujung trotoir di Indonesia dibuat seperti tangga dengan perbedaan tinggi yang sangat menyolok dari beda 20 cm sampai 30 cm. Kondisi seperti ini sangat menyulitkan penyandang cacat bahkan orang normal sekalipun untuk mengaksesnya. Ada lagi trotoir yang terbuat dari paving block yang licin karena berlumut. Lebih lebih lagi banyak yang pemanfaatannya bukan untuk pejalan kaki, misalnya ditengah trotoir ditanam pohon – pohon pelindung, sehingga mengurangi space untuk pejalan kaki. Bahkan di kota – kota besar seperti Makassar misalnya banyak kita jumpai tiang – tiang listrik atau tiang telepon diletakkan di tengah trotoir. Pemasangan tiang – tiang tsb. terkesan tidak ada koordinasi antara PLN, TELKOM dengan Dinas Tata Kota. atau petugas – petugasnya tidak mengetahui adanya aturan aksesibilitas yang tertuang dalam KepMen PU 468/ KPTS/ 1998. Semestinya public space seperti ini diperhatikan, sehingga kota tidak nampak semrawut dengan pemasangan- pemasangan tiang seperti itu.
Ada juga trotoir yang dibuat sangat membahayakan bagi penyandang tuna netra, karena trotoir tsb. diletakkan berdampingan dengan selokan besar dan dalam , serta tidak dilengkapi dengan handrail seperti yang kita lihat di Jln. Urip Sumoharjo - Makassar. ( Lihat gambar ). Dan hampir di semua kota ( kecuali beberapa kota seperti Denpasar) , trotoir yang dibuat tidak dilengkapi dengan guiding block, warning block maupun jalur pengaman pada sisi trotoir. Untuk kota seperti Jogjakarta, public space untuk pejalan kaki sangat diperhatikan, indikasi adanya respect bagi pejalan kaki sangat diterapkan. Itu bisa kita lihat pada kawasan Malioboro. Kesadaran dan pemahaman masyarakatpun cukup baik. Tapi itu baru Jogja dan Denpasar. Sebagian besar kota di Indonesia perilaku warga masyarakatnya yang kurang menyadari arti pentingnya pedestrian. Mereka dengan seenaknya membuat kedai – kedai atau warung – warung di atas trotoir atau mereka jadikan trotoir sebagai tempat parkir kendaraan. Pembangunan trotoir yang makan biaya besar terkesan asal ada fisiknya tanpa memikirkan asas kemudahan, keselamatan, keindahan dan rasa keadilan. Ujung – ujungnya Pemerintah Kota yang disalahkan dengan semrawutnya penataan pedestrian yang menjadi tempat bagi pedagang kaki lima mengais rejeki. Pemerintahpun sebetulnya sudah berbuat dengan menempatkan pedagang kaki lima itu pada tempat – tempat khusus untuk menjajakan dagangannya. Namun jumlah pedagang kaki lima membludak hingga tak tertampung di satu tempat. Ini adalah ekses dari pengangguran dan kurangnya lahan pekerjaan yang tersedia. Program penataan kota oleh Pemerintah Kota dinilai kurang berhasil. Tapi itu bukan kesalahan Pemerintah Kota semata. Kita semua bertanggung jawab dengan masalah – masalah yang ada di sekitar kita. Jadi kunci dari keberhasilan Pemkot dalam program ketertiban dan keindahan kota adalah pemahaman seluruh petugas akan peraturan dan komitmen dari seluruh petugas untuk saling berkoodinasi, juga sosialisasi kepada masyarakat agar masyarakat sadar akan aturan. Kembali ke masalah pedestrian. Secara teknis pedestrian harus memenuhi persyaratan teknis aksesibilitas. Persyaratan – persyaratan sebagai berikut :

a. Permukaan
Permukaan jalan harus stabil, kuat, tahan cuaca, bertektur halus tetapi tidak licin. Hindari sambungan atau gundukan pada permukaan, kalaupun terpaksa ada, tingginya harus tidak lebih dari 1,25 cm. Apabila menggunakan karpet, maka ujungnya harus kencang dan mempunyai trim yang permanen.

b. Kemiringan
Kemiringan maksimum 70 dan pada setiap jarak 9 m disarankan terdapat pemberhentian untuk istirahat.

c. Area istirahat
Terutama digunakan untuk membantu pengguna jalan penyandang berkebutuhan khusus ( PBK ).

d. Pencahayaan
Berkisar antara 50-150 lux tergantung pada intensitas pemakaian, tingkat bahaya dan kebutuhan keamanan.

e. Perawatan
Dibutuhkan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kecelakaan.

f. Drainase
Dibuat tegak lurus dengan arah jalur dengan kedalaman maksimal 1,5 cm, mudah dibersihkan dan perletakan lubang dijauhkan dari tepi ramp.

g. Ukuran
Lebar minimum jalur pedestrian adalah 120 cm untuk jalur searah dan 160 cm untuk dua arah. Jalur pedestrian harus bebas dari pohon, tiang rambu-rambu dan benda-benda pelengkap jalan yang menghalang.

h. Tepi Pengaman
Penting bagi penghentian roda kendaraan dan tongkat tuna netra ke arah area yang berbahaya. Tapi pengaman dibuat setinggi minimum 10 cm dan lebar 15 cm sepanjang jalur pedestrian.


Untuk penyandang berkebutuhan khusus ditambah dengan syarat lain yaitu :

a. Pemasangan handrail pada trotoir di ujung –ujung persimpangan/ tempat penyeberangan dan diberi warna menyolok.
b. Pemilihan material untuk permukaan trotoir, tidak boleh licin.
c. Pemilihan trotoir khusus pada tempat tertentu untuk memberikan perbedaan bagi penyandang tuna netra (mulut tempat penyeberangan dsb)
d. Lebar trotoir dan jalan setapak agar diperhitungkan untuk kemungkinan dapat dilewati oleh roda.
e. Ketinggian rambu-rambu lalu lintas, reklame dan tanda-tanda lain diatas trotoir harus dapat dilewati oleh penyandang cacat tuna netra.

Di tempat – tempat rekreasi pedestrian harus memperhatikan hal – hal sbb :

a. Kemiringan dan lebar jalan setapak harus memenuhi persyaratan untuk dilalui kursi roda.
b. Setiap perbedaan tinggi pertemuan jalan harus dilengkapi dengan ramp dan handrail tangga.
c. Pada setiap jembatan dan pinggiran kolam yang dianggap membahayakan perlu diberikan pagar pengaman.
d. Pertemuan plaza dan jalan-jalan setapak tidak boleh licin.
e. Apabila terdapat rambu-rambu, papan penunjuk atau bidang reklame di atas plaza/jalan setapak maka ketinggian harus aman terhadap tuna netra pejalan kaki.

Jumat, 04 Januari 2008

Sederhana dan Jujur membuat hidup lebih enjoy

Kita sering mendengar, membaca dan melihat banyak orang yang sakit atau menderita walaupun mereka kaya secara finansial. Bagi mereka semuanya mudah didapat. Mereka memperoleh kemudahan. Namun untuk menjadi kaya secara finansial tentu tidak mudah, perlu perjuangan yang ulet, tekun dan sabar. Nah yang satu ini, cari gampangnya..... segala cara untuk mendapatkan kekayaan dilakukan. Jadilah OKB ( orang kaya baru ). Padahal zaman semakin transparant. Segala hal yang berbau kejahatan sekecil apapun sekarang mudah tercium. Ujung2nya mereka yang melakukan hal2 korup, akan menjadi santapan hukum dan " penegak hukum ". Saya masih pake penegak hukum dalam tanda petik. Artinya penegak hukum di Indonesia belum benar2 tegak. Hukum masih bisa diperjual belikan. Yang salah jadi benar, yang benar jadi salah. Menegakkan hukum di Indonesia masih seperti menegakkan benang basah. Semua celah aturan bisa dimanfaatkan untuk bisa membela diri, untuk menang dalam pengadilan kalau modalnya gede. Bahkan bisa berbalik menggugat kembali. Yah... kira2 itulah nanti yang akan mereka petik dari hasil kejahatannya untuk meraup kekayaan......berhadapan dengan " hukum ". Bukan kenikmatan dan kebahagiaan yang mereka peroleh, tapi hidup dalam kesulitan dan stress, yang akhirnya ..... bisa2 hidupnya tidak enjoy. Maka dari itu enaknya kita hidup sederhana saja dan usahakan sejujur mungkin. Insya Allah hidup lebih bermakna dan lebih nikmat. Oke boss............. Good luck bagi mereka yang sederhana dan jujur.


Ramp memudahkan semua orang untuk mencapai suatu tempat